Malam membayang di Kurusetra,
rembulan perak di atas randu,
mayat mayat dalam pelukan gangga dan yamuna
hanya tersisa onggokan kereta, pedang, panah,
sisa perang siang tadi.
Sesosok bayang melintas,
dalam pancaran rembulan perak,
indah semampai setara cantik rembulan.


Untukmu, Wahai Penitip Sejengkal Hati
Apa kabar hatimu kini? Setelah sekian lama tak bersua dalam gerimis hujan yang menebarkan aroma kabut. Setelah sekian lama tak bertemu dalam hangatnya secangkir cappucino dan sepotong muffin.
Apa kabarmu, wahai Sang Penitip Sejengkal Hati?
Masihkah ada sebagian hatimu yang engkau simpan untukku, meskipun itu tersembunyi di palung hatimu yang paling dalam? Ingatkah engkau akan kata-katamu ketika itu? Ketika kaukatakan ingin menitipkan sedikit saja hati sebagai sekeping mozaik untuk bisa melengkapi hari-hariku. Aku terima itu kala itu. Kujaga sejengkal hatimu dengan sepenuh jiwaku. Kusimpan rapat di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Aku menjaga dan merawatnya dengan penuh kasih sayang biar senantiasa tumbuh mekar di dalam hatiku.

Kepingan mozaik itu terhempas, jatuh, lalu berserak kehilangan makna )
Hidupku ini ibarat layang-layang
Ditarik, diulur, mendekat, menjauh
Terlihat indah dari sana, namun sakit terasa seluruh raga
Lalu datang badai menghempasku
Aku melayang, luruh, lalu lindap
Benangnya putus, tak lurus, tapi mengusut
Aku tak bisa lepas!
Kataku: Lepaskan aku, Tuan!
Lepaskan aku dari jerat asmaramu!

Bu Ratna namanya. Guru favoritku, mengajarkan Bahasa Indonesia. Orangnya cantik dan santun. Ramah, disiplin, dan selalu mengajarkan kejujuran kepada kami, meskipun sekarang tak mudah untuk hidup dalam kejujuran. Setiap kali ulangan, beliau selalu menekankan kepada kami agar kami jujur, paling tidak, tak membohongi diri kami sendiri dengan nilai hasil contekan.
Namun, kami tetap kami, anak SMP yang juga ingin mendapatkan nilai bagus. Tentu, agar kami tak dimarahi orang tua kami. Tentu, agar guru-guru senang karena sudah berhasil mengajar. Juga, tentu saja agar kami bisa membanggakan diri kami di hadapan teman-teman karena nilai yang bagus. Apalagi jika dipuji guru di depan teman teman yang lain. Tentu, hal ini akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi kami yang sedang dalam masa aktualisasi diri.
Lalu, semua pun berjalan dengan demikian adanya. Meskipun Bu Ratna tak pernah bosan mengingatkan kami agar kami jujur, kami pun tak pernah bosan melanggarnya. Terakhir kali, satu setengah bulan lalu, menjelang ujian nasional, beliau berpesan agar kami jujur dalam mengerjakan ujian. Tak usah mencontek, karena teman belum tentu benar. Tak usah mencari bocoran, karena yang tak lulus karena terlalu percaya bocoran pun banyak.

Masa anak-anak adalah masa yang menyenangkan. Masa bermain dan bersosialisasi.Waktu kecil dulu, meskipun rumah saya di gunung, sudah ada sebuah taman anak-anak. Tidak berupa bangunan tersendiri seperti sekarang, tetapi masih nebeng di rumah seorang sesepuh desa yang ruang tamunya saja bisa digunakan untuk mendirikan 4 rumah sederhana.
Setiap hari saya diantarkan oleh pengasuh saya karena ibu saya harus mengajar.Saya tak suka sekolah, jadi setiap hari saya nangis dulu sebelum sekolah. Kalaupun mau, Yu Mah, pengasuh saya, harus menemani. Tidak di dalam sih, cukup di luar saja asal terlihat dari dalam. Kalau dia tak tampak, pasti deh saya mewek mewek.

Gurunya adalah kerabat saya masih terhitung bulik. Suatu hari, beliau bertanya: siapa yang masih mimik ibu? Tak ada yang menunjukkan jari. Saya juga tak mau menunjukkan jari, meskipun saat itu saya masih mimik ibu saya. Suatu hari, guru saya ini main ke rumah ibu saya. Tak disangka, saat bermain saya jatuh. Saya pun menangis. Melihat saya menangis, ibu saya segera memangku saya dan mengeluarkan payudaranya. Hahaha ... dengan malu malu, saya pun segera menyambutnya dengan hisapan kuat. Oh, ya, saat itu saya masih netek sampai usia saya 5 tahun. Usia 5,5 tahun saya masuk Sekolah Dasar.

Teman saya banyak sekali. Gurunya 3. Setiap hari, kami diajarkan menyanyi dan menjajar gambar telur di buku tulis. Waduh, saya paling sebal dengan pekerjaan ini.Lha, saya gak suka nulis, telur saya saja berjajar tak tentu garisnya, besar kecilnya.Pelajaran nyanyi saya suka. Lagunya si Kancil, Pelangi, Bintang Kecil. Masih lagu zaman dulu, belum bervariasi seperti anak-anak zaman sekarang. Kami maju bergantian.

Suatu saat, giliran teman saya yang bernama Sukaenah maju ke depan. Ia disuruh Bu Guru menyanyikan lagu Si Kancil. Ia pun naik ke mimbar kecil di depan kelas. Dan mulailah ia bernyanyi:
Si Kancil anak nakal
suka mencuri timun ...

Namun, tiba-tiba ia menangis dan tak mau melanjutkan nyanyinya. Ketika ditanya Bu Guru, jawabnya, "Bu, saya tidak mencuri timun, kok ..."

Hahahaha ... Sukaenah yang panggilannya Suka ini menyangka bahwa dirinyalah yang dituduh mencuri timun. Ia pun tak mau dikejar apalagi tak diberi ampun.