Ibu


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….

“Ibu menanyakanmu sebelum menghembuskan nafas penghabisannya, Mas,” kata Sari. Mukanya sembab, tapi air matanya sudah mengering.  Dia masih duduk bersimpuh, di tepi balai-balai  tempat jenazah ibunya berada. Tinggal menunggu waktu saja sebelum jenazah ibunya diberangkatkan setelah wanita tua itu bergelut melawan kanker selama bertahun-tahun.
Sari sudah tak mampu menangis. Ia benar-benar sudah mengikhlaskan kepergian ibunya yang  telah sekian lama bergulat melawan kanker rahim. Seandainya ada satu yang tak bisa ia ikhlaskan, mungkin hanya perlakuan Irawan, kakak laki-laki semata wayangnya. 
Perempuan itu masih termangu di balik jendela. Pintu rumahnya masih terbuka lebar. Di luar, hujan masih saja turun dengan derasnya. Tak terasa, hampir 3 jam ia memandangi hujan, seolah ingin menyibak apa yang ada di baliknya.
“Ibu,” sebuah suara lirih memanggilnya. Ia diam, hanya menoleh dengan kilatan mata aneh.
“Sudah hampir malam. Bukankah sebaiknya pintunya kita tutup?”

Anak kecil itu -perempuan berusia sepuluh tahunan- menutup pintu dan kemudian menggandeng ibunya masuk ke dalam. Di ruang tengah, neneknya hanya dapat menatap dengan mata penuh iba.

Kebiasaan itu -memandangi hujan berlama-lama- memang telah menjadi kebiasannya sejak setahun terakhir. Setahun lalu, suaminya pergi menyibak hujan, dan berjanji untuk kembali jika hujan reda nanti. Namun, hingga kini tak didengarnya lagi kabar berita tentang suaminya itu. Dan ia selalu menunggunya. Dia yakin suaminya akan datang untuk menepati janjinya. Akan kembali pulang jika hujan telah reda.

Siang menjelang, tetapi suasana masih terasa pagi. Gerimis yang turun sepagian membuat sebagian orang malas untuk beraktivitas. Siang yang basah, sebasah hati Yasin. Sebuah surat undangan merah jambu bertinta emas yang  tergeletak di mejanya membuatnya tak bersemangat siang ini.

Pagi tadi, Candra menyerahkan undangan itu kepadanya. Gadis manis berusia dua puluh delapan tahun itu menyodorkannya tanpa bicara sepatah kata pun. Kepalanya menunduk dan matanya berkaca-kaca. ia menerimanya dengan helaan nafas seakan ditimpa beban satu kuintal. Berat dan panjang.

Ririn tergugu. Dipandanginya telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja.  Sejak sejam lalu tak ada dering yang ditunggunya. Tak pula bergetar karena ada pesan masuk.

Mungkin Si Mas sibuk, pikirnya. Ah, kapan dia tak merasa sibuk? Di rumah pun pekerjaan melulu yang ia pikirkan. Setumpuk kertas yang dihadapi dengan muka berkerut. Sampai malam larut, masih pula berkutat dengan kertas yang berbunyi: program. Atau dengan laptop yang tetap menyala sampai tengah malam tiba.
Dan ia sunyi. Merasa asing berada di samping suaminya. Dan ia bunuh sunyi itu dengan membuka laptop yang lain. Jadilah 2 orang asing berada dalam satu rumah yang sama. Dalam satu tempat yang sama, namun dalam pemikiran masing masing. Bisu.

Bisu di dunia nyata, namun ramai di dunia maya. Ketika Si Mas sibuk dengan pekerjaannya, Ririn pun menyibukkan dirinya dengan komunitas mayanya. Teman-temannya banyak. Dia ngobrol berjam-jam dengan temannya, menemani Si Mas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, barulah mereka beranjak ke peraduan, masih dengan pikiran masing-masing.

Di tepian sebuah hutan, tinggallah seorang anak lelaki bersama ibunya. Anak lelaki ini bernama Cinde Laras dan ibunya bernama Dewi Limaran. Mereka tinggal berdua di dalam sebuah gubug yang reot, tetapi hidupnya bahagia.

Pada suatu hari, ketika Cinde Laras sedang bermain di halaman rumahnya, terbanglah seekor burung elang. Burung elang itu menjatuhkan telur ke dekat kaki Cinde Laras.

“Hai, Cinde Laras, “ seru Elang kepada Cinde Laras.
“Burung Elang, “ seru Cinde Laras takjub, “Engkau bisa bicara?”
“Aku bawakan telur untukmu, Cinde Laras. Rawatlah ia!” seru Elang kapada Cinde Laras.
“Baiklah, Elang. Terima kasih, ya,” sahut Cinde Laras.

Intan terpaku menatap cermin. Matanya berkaca-kaca. Ia masih tak dapat mengerti, mengapa Sari selalu memusuhinya. Dulu, ia dikata-katai sebagai anak yatim dan miskin. Hari ini dikatai anak tak tahu diri. Miskin tetapi bersekolah di sekolah favorit paling mahal di tempatnya.

Dulu, rambutnya pernah ditarik hingga kepalanya pusing selama tiga hari. Pernah pula ia nyaris ditabrak dengan sepeda hingga ia jatuh terjajar menatap tembok. Kali lain, dimasukkannya ular mainan ke tasnya. Sungguh, kelakuan Sari kepadanya di luar nalar.

“Kenapa menangis, Cantik?” tanya cermin di depannya.
Intan tersenyum, disekanya air mata yang membasahi pipinya.
“Kelakuannya hari ini sungguh menyebalkan, Cermin. Masak aku dikatakan mencontek ulangannya. Padahal, seumur hidup kan aku tak pernah mencontek. Sebel sebel sebel…,” teriak Intan.

Syahdan, di desa Dadapan, tinggallah  seorang janda miskin yang bernama Mbok Randha Dadapan. Mbok Randha ini tidak mempunyai anak kandung, tetapi ia mempunyai seorang anak angkat. Anak angkatnya ini berwajah buruk, berkulit hitam, berbadan pendek. Karena keadaan tubuhnya yang sedemikian, ia pun dipanggil Jaka Kendhil. Kendhil adalah semacam periuk untuk menanak nasi atau merabus air yang terbuat dari tanah liat. Jika terlalu sering dipakai, kendhil akan berwarna hitam.

Jika Mbok Randha sedang membantu tetangganya yang punya hajat, maka Jaka Kendhil diajak serta. Ia selalu duduk diam di dekat tempat menata makanan. Orang yang ada di situ akan mengira bahwa dia memang benar-benar kendhil . Maka, pulanglah ia dengan banyak makanan di atas kepalanya.
Pada suatu hari, Jaka Kendhil meminta kepada ibunya untuk melamarkan gadis.
“Kau ingin mencari istri, Anakku?” tanya Mbok Randha.
“Ya, Mbok.”

“Selamat pagi, Cantik!”
(Betapa kata itu selalu menggema dalam lorong waktu relung hatiku. Menemaniku mencapaimu dalam bayang-bayang semu.)
***
Surat undangan berwarna merah hati itu bertuliskan namanya. Tertulis dengan tinta emas. Ada puisinya, tentang cinta, di sana. Indah sekali. Puisi cintanya untuk seseorang yang begitu ia cintai.

Aku masih merebahkan diri di tempat tidur bersama selimut tebal nan hangat. Masih pagi, pikirku. Azan subuh belum lagi menggema. Inginku kembali tidur, tetapi undangan merah hati yang terletak di atas meja samping ranjangku  itu membuat pikiranku melayang pada masa-masa lalu, masa tentangku dan  tentangnya, si penulis puisi dalam undangan itu.



13075072491771131066 
Wajahnya cantik. Kulitnya seterang purnama bulan. Banyak orang bilang, dia mirip Helmalia Putri yang pernah ngetop beberapa tahun yang lalu. Namun, kemiripan wajah tak menjamin kesamaan nasib, bukan? Sama-sama berwajah rupawan, tetapi nasib bagai keping mata uang yang bertolak belakang.
Satu hidup di metropolitan, yang lainnya hidup di sebuah desa terpencil di pegunungan. Yang satu seorang bintang film, yang satunya lagi hanya seorang pembantu di rumah seorang guru. Berbeda jauh, bukan? Ibarat bumi dengan langit, seperti rembulan dengan matahari, bagai ufuk timur dengan barat.

Cantik wajahnya, namun belum tentu seindah takdirnya. Tini, namanya. Lahir di tengah kemiskinan keluarganya sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Bapak dan emaknya hanya buruh tani biasa. Tak cukup penghasilan mereka untuk memenuhi makan anak-anaknya, apalagi sampai menyekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi selain SD. 

Pada usia 13 tahun, selulus dari SD, Tini terpaksa tak melanjutkan sekolah. Oleh gurunya semasa SD, dia diambil sebagai anak angkat sekaligus sebagai tukang momong. Namun, ia tak mau disekolahkan. Bisa ikut momong di rumah Pak Gurunya saja ia sudah senang. Ini berarti beban orang tuanya sedikit berkurang. Ia pun bisa memberikan sedikit uang kepada orang tuanya untuk biaya adik-adiknya. 

(Bunga rumput liar tumbuh dibalik semak-semak, kemuning warna kelopaknya. Sehelai daun kering jatuh, menutup mekarnya dengan kelabu bayang-bayang.)

“Hilang, Zid?”
Anak laki-laki sepuluh tahun itu mengangguk. Kepalanya menunduk, bibirnya mengatup. Emak pasti marah, pikirnya.
Senah menatap anaknya setengah tak percaya. Namun, melihat ekspresi anaknya, lemaslah ia. Yazid tak berbohong. Anaknya memang tak pernah berbohong. Kartu itu memang hilang. Kartu yang digunakan untuk mengambil jatah daging itu tadi pagi diterima Yazid seusai shalat ied. Yazid mengantonginya di saku celana. Anak itu lupa, bahwa kantong celananya bolong dan kartu itu jatuh entah di mana.
Ketika diam menjadi pilihan, maka tak ada lagi yang bisa kupilih selain diam.
“Bicaralah,” kata lelaki itu. Aku menggeleng.
“Cukuplah aku dengan diamku. Bumi tak akan berhenti berputar jika aku diam, bukan?”
“Bicaralah, sekata saja. “
 Aku menggeleng. “Tak akan kukata apa yang kurasa.”
“Aku akan merasa kehilangan.”
“Dan aku akan merasa tersanjung.”
“Selepas subuh nanti aku akan pergi.”
“Pergilah.”
“Kau tak merasa kehilangan?”
“Jika aku merasa kehilangan haruskah kukatakan?”
“Tentu, ini akan menguatkanku di tempat baru nanti.”
“Tidak. Tak akan kukatakan apa yang kurasa. Pergilah.”
“Sri…”
“Pergilah, Kang. Jangan lupa pamit istrimu.”
“Aku cinta kamu,” bisikku dalam hati.
Suatu malam di sudut kamar, berkumpullah Mata, Telinga, Hidung, Mulut, dan semua jenis organ yang ada dalam tubuh manusia. Mereka sedang melakukan konsolidasi serius karena masalah yang memberati mereka berhari-hari. Raga mereka tampak kuyu.

Mata yang biasanya bersinar, sayu kehilangan kerlipnya. Telinga yang bisanya tegak, mendadak tunduk tanpa daya. Kulit yang biasanya segar, putih, kencang, mendadak kisut  dua puluh tahun lebih tua nampaknya.
“Ah, semua ini ulah si Hati,” seru Mata tak sabar.