Di sebuah desa, tinggallah seorang janda tua. Namanya mbok Randha Dadapan. Ia hidup seorang diri di rumah kecilnya yang berada di tepi hutan.  Pekerjaan sehari-hari adalah mencari kayu bakar di hutan, lalu menjualnya ke pasar. Setiap hari ia mencari kayu bakar di hutan. Keesokan harinya, ia membawanya ke pasar. Begitu terus yang ia lakukan.

Setiap pergi ke hutan, ia harus melewati sebuah sungai yang cukup lebar tetapi dangkal. Di sana pula ia membasuh tubuhnya yang lelah setelah lelah bekerja seharian.

Hari itu, sepulang dari hutan mencari kayu bakar, Mbok Randa Dadapan singgah ke sungai untuk sekadar membersihkan tubuhnya. Tiba-tiba dilihatlah sebuah benda berkilau di dalam air. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah keong. Keong itu berwarna kuning keemasan, tampak berkilauan diterpa sinar matahari. Mbok Randa pun tertarik untuk membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah,  Mbok Randha meletakkan keong itu pada tempayan.

Keesokan harinya, Mbok Randha pergi ke pasar untuk menjual kayu bakar.  Setelah kayu bakarnya laku, ia pun membeli barang kebutuhannya, seperti beras, ikan, dan lain-lain. Ia Ia pun pulang kembali ke rumahnya. Namun, sesampai di rumahnya, alagkah terkejutnya ia, ketika sesampainya di rumah ia mendapati rumahnya dalam keadaan bersih. Lantai rumah dan halamannya sudah tersapu. Padahal, ia ingat sekali kalau tadi pagi ia tak sempat menyapu rumahnya karena ia harus berangkat pagi-pagi sekali.

Ktika memasuki rumahnya, ia semakin terkejut. Di dapur, ia melihat sudah tersedia makanan untuknya makan siang hari ini. Ia pun merasa senang sekali. Dengan lahap, dimakannya hidangan yang sudah tersedia itu.
Esok harinya, kejadian ini pun terulang lagi. Sepulang  mbok Randha mencari kayu bakar di hutan, ia selalu mendapati rumahnya dalam keadaan bersih dan makanan pun telah tersedia di dapur.

Karena hal ini terjadi terus menerus, maka ia pun hendak mengetahui siapa yang telah berbaik hati mengurus rumahnya. Esok harinya, ia pura pura pergi ke hutan. Ditutupnya pintu rumahnya dari luar, kemudian ia pun pergi meuju arah hutan. Namun, diam-diam ia kembali ke rumah melalui jalan yang berbeda. Dari belakang rumah, ia pun mengintip ke dapurnya.

Alangkah terkejutnya ia, tiba tiba saja dilihatnya seorang putri keluar  dari tempayan  tempat  ia menyimpan keong emas yang ditemukannya di sungai beberapa hari yang lalu. Jadi ini, jawaban atas keingintahuannya. Keong emas itu menjelma menjadi seorang putri. Putri itu kemudian melakukan pekerjaan rumah Mbok Randha, yaitu menyapu dan menyiapkan makan siang.

Mbok Randha pun penasaran ingin mengetahui siapakah sebenarnya putri yang berasal dari keong emas itu. Ia pun segera masuk ke dapur. Alangkah terkejutnya putri itu mengetahui Mbok Randha datang tiba-tiba. Ia pun segera lari masuk ke tempayan lagi, tapi Mbok Randha sudah mendahuluinya mengambil cangkang keong emas tempatnya bersembunyi.

“Kamu tak bisa berubah menjadi keong emas lagi, Putri,” kata Mbok Randha. “Katakan padaku, siapa sebenarnya dirimu ini,” lanjutnya.
“Mbok Randha, ketahuilah aku ini adalah Dewi  Candrakirana. Aku disihir menjadi keong emas ini karena Dewi Galuh merasa iri kepadaku yang ditunangkan dengan raden Panji, “ kata Putri itu.
Mendengar bahwa putri jelmaan keong emas itu adalah putri raja, Mbok Randha pun bersimpuh di hadapannya.

“Bangkitlah, Mbok Randha, aku berterima kasih karena engkau telah membawaku dari sungai. Namun, aku tak akan dapat berubah menjadi manusia kembali  jika tidak ada lelaki yang mencintaiku dengan sepenuh hati. Karena itulah, Mbok, aku minta agar engkau tetap merawatku di sini dan aku akan membantu pekerjaanmu di rumah."

“Baiklah, Putri,” jawab Mbok Randha.  Ia merasa sangat kasihan kepada Dewi Candrakirana. Namun, ia tak  bisa mengubah takdir yang sedang dijalani oleh Sang Dewi.

Hari pun berganti hari. Syahdan, Raden Panji  yang tiba-tiba ditinggalkan oleh tunangannya tanpa kabar merasa sangat  kehilangan. Ia pun mencari Dewi Candra Kirana sampai ke pelosok negeri bersama seorang pengawalnya. Setelah melewati  berbagai desa, kota,  hutan, gunung, lembah, jurang, dan sungai, sampailah Randen Panji ke tepi  hutan tempat  tinggal Mbok Randha Dadapan. Sesampai di sana, ia merasa sangat lelah dan hendak beristirahat.

Kebetulan Mbok Randha sedang ke pasar menjual kayu bakar sehingga rumah tampak sepi. Dilihatnya rumah itu tampak asri meskipun reot. Di  halaman rumah terdapat berbagai macam bunga, sedangkan di  bagian samping dan belakang rumah terdapat berbagai macam sayuran. Sungguh asri bila dipandang.

Beberapa saat kemudian, Mbok Randha pun datanglah dari pasar. Ketika dilihatnya dua orang sedang beristirahat di teras rumahnya, ia pun menyapa mereka.
“Maaf, Ki Sanak, kalau boleh tahu, siapakah gerangan Ki Sanak?”

Raden Panji pun menjawab.” Ketahuilah, Mbok. Aku adalah putra raja Jenggala, namaku Raden Panji dan ini pengawalku.”
“Raden Panji?” tanya Mbok Randha terkejut.
“Iya, Mbok. Aku ke sini hanya sekadar singgah dalam perjalananku yang panjang,” sahut Raden Panji.
“Raden, silakan masuk dulu kalau begitu. Saya sediakan sedikit air minum untuk Raden,” kata Mbok  Randha sambil berpikir bagaimana caranya memberitahu Raden Panji.

Mereka pun disuguhi  makan dan minum oleh Mbok Randha.
“Raden, kalau boleh saya tahu,  apakah Raden mencari sesuatu dalam perjalanan panjang Raden?” tanya Mbok Randha hati hati.
“Ya, Mbok Randha. Aku mencari tunanganku yang tiba-tiba menghilang dari keraton. Namanya Dewi Candrakirana.”
“Dewi Candrakirana?”
“Ya, Mbok. Aapakah kamu pernah bertemu dengannya?”
“Ee…. Bagaimana, ya, “ gumam Mbok Randha ragu. Tapi kemudian Mbok  Randha pun menceritakan tentang keong emas yang merupakan jelmaan Dewi Candrakirana.
“Benarkah ceritamu itu, Mbok?” tanya Raden Panji setengah tak percaya.
“Benar, Raden, Mari kita ke dapur sekarang,” kata Mbok Randha.

Mereka pun kemudian menuju ke dapur  tempat Mbok Randha meyimpan tempayan.  Diperlihatkannya keong emas itu kepada raden Panji. Raden Panji pun mengangkat keong itu dari tempayan. Tiba-tiba terjadilah keajaiban. Keong itu seketika berubah menjadi Dewi Candrakirana.

“Kakanda…,” kata Dewi Randhakirana sambil mengahturkan sembah kepada Raden Panji.
“Adinda, syukurlah akhirnya kita dapat bertemu di sini.”
“Semua ini karena Dewi galuh yang merasa sirik kepadaku, Kakanda. Dia menyuruh penyihir untuk mengubahku menjadi  Keong Emas. Syukurlah Kakanda memcariku sehingga aku dapat berubah wujud lagi menjadi manusia.”

“Iya, Adinda. Dewi Galuh dan penyihir itu harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Sekarang, kita kembali dulu ke istana, ya,” kata  Raden Panji. “Mbok Randha, aku mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas jasamu merawat Dewi Candrakirana. Oleh karena itu, jika engkau berkenan, marilah ikut ke istana bersama kami.”

“Raden, terimakasih atas ajakan raden. Namun, saya harap Raden tak keberatan jika saya tetap tinggal di sini. Saya hendak menghabiskan masa tua saya di gubug ini saja, Raden,” jawab Mbok Randha.
“Baiklah, Mbok Randha, kalau itu yang engkau kehendaki. Kami mohon pamit, Mbok.”
“Ya, Raden, Semoga Raden dan Dewi senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Mahakuasa.”

Mereka pun akhirnya kembali ke istana dan selanjutnya melangsungkan pernikahan secara meriah dan besar-besaran. Adapun Dewi Galuh dan penyihir  diberi hukuman yang setimpal dengan dilarang tinggal di wilayah Kerajaan Jenggala.
(Cerita ini diikutkan dalam event Paradoks di Kompasiana)

gambar dari google.

0 komentar:

Posting Komentar